Refleksi ini merupakan tulisan dari buah evaluasi yang saya lakukan selama hidup dan berkonflik dengan orang yang hidup dengan saya.
Suatu hubungan, entah hubungan kekeluargaan, hubungan pertemanan, hingga hubungan percintaan, pasti mengalami pasang surut. Kadang kebahagiaan muncul dalam hubungan itu. Tak jarang pula duka yang hadir. Konflik adalah hal yang umum terjadi dalam suatu hubungan.
Konflik muncul karena memang pada dasarnya manusia itu berbeda satu dengan yang lainnya. Berbeda pola pikir, berbeda perasaan, berbeda sudut pandang, berbeda kepribadian, dan perbedaan-perbedaan yang lainnya. Bahkan sepasang kembar identik pun pasti berbeda, jika dilihat dari beberapa aspek yang disebutkan sebelumnya.
Saya belajar melalui pengalaman-pengalaman di masa-masa sebelumnya. Bahwa sesungguhnya konflik seperti ini mudah diselesaikan jika pihak-pihak yang berkonflik menyadari makna dari hubungan yang sesungguhnya. Ketika kita berbiacara mengenai hubungan, tentunya tidak hanya melibatkan seorang saja, tetapi paling tidak dua orang di dalamnya. Maka, masalah dalam hubungan adalah mengenai "kita". Bukan hanya pada "saya" atau "Anda" saja. Sehingga hanya bisa diselesaikan oleh "kita", bukan salah satu pihak yang berkonflik.
Dalam suatu konflik, seseorang cenderung mempertahankan dirinya sendiri. Namun, sebuah konflik sesungguhnya muncul karena perbedaan latar belakang yang telah saya sebutkan di awal. Seperti jika yang berkonflik adalah "Saya" dan "Anda", "Saya" merasa "Anda" melakukan kesalahan dalam sudut pandang "Saya". Namun apabila melihat sudut pandang "Anda", "Saya" juga melakukan kesalahan.
Ada istilah yang menyebutkan, kita harus berkaca pada diri sendiri sebelum menistakan orang lain. Ya, kita sebelum menyalahkan pihak yang berkonflik dengan kita, paling tidak juga harus mampu untuk melihat pada diri sendiri, apakah saya melakukan kesalahan yang mungkin tidak saya sadari? Meminta maaf mungkin adalah awal yang baik untuk memulai rekonsiliasi. Dengarkan argumen pihak lain yang berkonflik, dan coba lihat dari sudut pandangnya. Jika tetap tidak merasa ada suatu kebenaran dalam argumennya, tanpa melibatkan sudut pandang pribadi alias tidak netral, utarakan argumen dengan tenang.
Permasalahan dalam penyelesaian konflik adalah seringkali pihak yang berkonflik menjadi keras. Keras seperti halnya batu. Bukan menjadi cara yang baik jika keras dibalas dengan keras. Seperti halnya dua batu yang bertumbukan, akan mengeluarkan bunyi, atau mungkin akan menimbulkan gesekan yang menimbulkan percikan. Salah satu pihak memanglah harus menjadi lempung, yang fleksibel dan empuk. Sehingga kerasnya batu dapat ditahan oleh lempung agar tidak menimbulkan bunyi atau percikan. Menjadi tenang dalam penyelesaian masalah.
Memanglah hal ini sulit untuk dilakukan. Sangat sulit untuk dilakukan. Ini bukanlah suatu yang instan. Memang membutuhkan proses. Saya sendiri pun masih berproses mengenai ini, dan akan selalu berproses. Saling memahami dan ngemong terhadap sesama. Namun, refleksi ini hanya akan menjadi sia-sia jika tidak aksi yang mampu mewujudkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana pendapatmu?