30 hari umat Muslim sedunia menjalankan puasa. Menahan lapar, haus, amarah, nafsu, dan hal-hal negatif lain tentunya. Memang di satu sisi, saya tidak menjalankan puasa di bulan Ramadhan, melainkan saat pra-paskah. Namun, dari sini saya juga mampu merefleksikan makna puasa Ramadhan sebagai saran untuk memperbaiki diri. Khususnya di tahun ini, beberapa kejadian mampu memberikan gagasan pada diri saya.
Awal Ramadhan, saya mengalami suatu kejadian unik, di mana salah seorang teman saya marah-marah. Saya yang merasa punya tanggung jawab sosial, berusaha untuk mengingatkan. Namun jawabnya adalah, "Aku mau marah juga nggak masalah. Aku kan udah buka puasa." Nah! Muncul gagasan dalam diri saya, berarti setelah Maghrib dan sebelum Imsak kita boleh juga memukul bahkan menyiksa orang. Saya rasa jawaban atas gagasan tersebut adalah TIDAK. Tidak mungkin juga Ramadhan hanya terjadi setelah Maghrib dan sebelum Imsak. Andai hanya sebatas waktu-waktu tersebut, dapat dikatakan, bulan Ramadhan hanya 15 hari. Jadi, dalam sudut pandang saya, Ramadhan adalah saat untuk menjaga diri, hati, dan jiwa sepenuhnya, tanpa terbelenggu oleh waktu. Saya kemudian menyadari bahwa jika kita ingin menjaga diri, hati, dan jiwa, tak pernah terikat oleh waktu, tempat, atau apapun. Kapanpun, di manapun, dengan siapapun kebenaran selayaknya selalu ditegakkan dengan sepenuh hati, bukan karena sekedar formalitas karena suatu kejadian.
Dalam bulan Ramadhan ini pula, sering kita simak berita mengenai operasi pekat (penyakit masyarakat) dan sidak minuman keras, bahkan penutupan tempat makan. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan dengan dalih untuk menjaga kesucian bulan Ramadhan. Namun, saya melihat suatu sudut pandang yang lain. Dari hal-hal tersebut, bagi saya malah menurunkan esensi dari berpuasa. Melalui puasa menurut saya seseorang diuji ketegaran, kekuatan untuk menjaga diri, hati, dan jiwa dari segala macam godaan. Bukan maksud saya menyetujui praktik dunia bawah tanah, tetapi dengan maraknya hal seperti itu, menurut saya semakin diuji kemampuan untuk menjaga diri, hati, dan jiwa. Jika tidak ada faktor-faktor tersebut, lalu hal apa yang mampu menguji keteguhan hati dalam membela iman. Malah dengan adanya itu juga, menurut saya kita menjadi lebih tahu, mana yang lebih mampu menjaga diri, hati, dan jiwa dan mana yang kalah oleh godaan-godaan tersebut. Sekali lagi, bukan berarti saya mendukung praktik-praktik bawah tanah ilegal tersebut. Dari hal tersebut, saya kemudian mencoba merenungkan kembali akan adanya ganguan dan godaan. Gangguan dan godaan tersebut ternyata bukanlah hal yang mampu menghambat kita untuk maju, namun bisa menjadi suatu batu loncatan untuk jauh lebih maju daripada menjalani hidup tanpa gangguan dan godaan sama sekali.
Melalui Ramadhan ini pula saya mengalami hubungan relasi yang semakin kuat. Pada masa-masa ini seringkali diadakan buka bersama. Buka bersama pun seringkali dimanfaatkan sebagai pemicu temu kangen teman-teman masa SMA, SMP, bahkan SD. Saat ini kehidupan yang mulai terpisah-pisah, dan memiliki jalan hidup yang berbeda-beda, seakan dikumpulkan kembali. Hubungan yang mulai merenggang kembali dirapatkan, yang sudah rapat semakin rapat, bahkan menimbulkan sebuah jaringan lain. Sehingga terbentuklah jalinan sosial yang semakin kuat. Hubungan yang sesungguhnya semakin membantu kita untuk lebih maju. Karena hubungan sosial mengembangkan wawasan dan mampu menjadi sarana berbagi pengalamana kehidupan.
Tulisan ini pun setidaknya juga menjadi sarana pengingat saya untuk lebih mampu memperbaiki diri. Tentu saja, ini semua membutuhkan proses. Semoga kita mampu berproses bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana pendapatmu?