Banyak
orang beranggapan langit cerah, tanpa awan kelabu menggantung di langit, adalah
hari yang menyenangkan. Begitu juga aku. Memiliki anggapan yang sama dengan
mayoritas suara yang berujar hari cerah sama dengan bahagia, hingga aku bertemu
dengan Novi, gadis yang kutunggu kedatangannya di restoran Italia favorit kami.
Ia yang mengenalkanku pada hujan.
Aku
mengingat pertama kali kami bertemu tiga tahun yang lalu. Arak-arakan awan
mendung semakin menutupi langit dan membuat kakiku semakin cepat melangkah.
Awan menumpahkan hujan seperti air yang tertumpah dari ember yang terlempar.
Mengejutkanku dan membuat naluriku memintaku untuk berlari mencari tempat
teduh, dan sebuah halte penuh poster event yang usang menjadi sasaran
pelarianku. Aku segera duduk di kursi halte, dan kostum putih abu-abuku
untunglah tak begitu basah. Aku benci dengan hujan. Baru kusadari ada seorang
gadis seusiaku juga duduk di halte tersebut. Ia tersenyum, bukan padaku, namun
pada air hujan yang tanpa ampun menghujam segala yang ada di daratan.
“Cobalah
perhatikan irama hujan.” Tiba-tiba ia berujar. Aku tak melihat seseorang pun di
halte ini. Mungkin dia berbicara sendiri, pikirku sembari menunggu hujan reda.
“Kamu
sudah dengar iramanya belum?” ia kembali berkata, namun berwujud pertanyaan.
Apakah aku yang dia tanyakan?
“Aku
belum mendengarnya.” Jawabku berusaha untuk menghargai pertanyaannya, namun
ragu apakah memang aku yang mendapat pretanyaan itu.
“Coba
perhatikan dengan seksama rintiknya.” Ujarnya lagi memberi saran. Aku pun
berusaha mencerna irama yang muncul dari rintik hujan. Aku tetap tak paham
irama apa yang ia maksudkan. Kami terdiam cukup lama.
“Aku
belum mendengar iramanya.” Suaraku mengucapkan kalimat hasil dari keberanianku
untuk menyambung kembali pembicaraan. Tiba-tiba ia berdiri, memegang tangan
kiriku dengan tangan kanannya yang lembut untuk menarikku ke samping halte.
Hujan mengguyur kami berdua, dan ia tertawa padaku sembari merentangkan
tangannya dan menengadahkan kepalanya menikmati hujan yang menerjang tubuhnya.
Segera aku tarik tubuhnya kembali ke halte.
“Kamu
gila ya? Hujan-hujan. Sudah tenang-tenang di halte malah hujan-hujan. Ngajak
aku pula!” Ujarku sedikit emosi.
“Hahaha!
Aku cuma ngajak kamu dengerin irama hujan. Gimana? Kamu sudah dengar?” jawabnya
bercanda.
Aku
hanya diam menahan emosi. Namun perlahan, aku mulai menikmati hujan, dan seakan
mendegar suatu irama, mungkin itu yang ia maksudkan. Kami diam cukup lama.
“Aku sudah mulai mendengar yang
mungkin kau maksud,” ujarku mencoba mencairkan suasana yang seakan membeku
karena dingin yang diciptakan hujan, “Namaku Julius.” Cobaku mengajak teman
halteku berkenalan.
“Namaku Novi. Baguslah kalau kamu
bisa mendengarnya, dan kamu mulai bisa menikmatinya. Orang yang menganggap hari
cerah menyenangkan, mungkin tak pernah berdansa dalam hujan.” Jawabnya atas
ungkapan-ungkapanku. Pembicaraan kami pun berlanjut.
Mentari terik membakar bumi.
Cerahnya langit-langit musim kemarau tak mampu membuatku terhibur, seperti saat
langit cerah sebelumnya. Mungkin rasa cemburu muncul dalam nuraniku ketika ia
menjalin kekasih dengan teman sekolahnya. Aku pun berusaha realistis dan
berkaca diri, bahwa aku bukan siapa-siapanya. Kemarau ini membuatku merasa
kekeringan oleh perasaan. Hingga musim penghujan, ia berpisah karena kekerasan
kekasihnya. Hingga aku merasa bingung pada diriku, apakah harus bersuka atau
berduka.
Masih sepuluh menit lagi waktu yang
kami tentukan untuk bertemu. Aku duduk sendiri di meja favorit kami jika datang
kemari. Hingga pikiranku melayang kembali pada kenangan kami kemari pertama
kali, sekitar setahun setelah pertemuan kami. Meja di sudut dengan dua kursi
menjadi pilihan kami, karena kami awalnya berniat melihat dekorasi foto-foto di
Italia, dan tempat itu menjadi favorit kami hingga saat ini. Pizza dengan isi
seafood, segelas lemon dingin di sisiku, dan strawberry lassy di sisinya
menjadi hal yang selalu di meja kami, dan entah mengapa, kami tak pernah bosan.
Di tengah perjamuan kami di hari itu, gerimis turun. Kami menanti gerimis reda,
mengisi waktu dengan obrolan, canda, debat, hingga tak terasa dua jam kami di
sana. Tapi gerimis belum reda, dan aku tak membawa jas hujan. Ia tak
mempermasalahkan hujan, dan mengajakku untuk kembali pulang. Pikirku jarak
rumahnya dengan restoran ini dekat, dan gerimis hanya membuat kami sedikit
basah. Jaketku kuberikan padanya untuk dikenakan. Ketika kami melaju di atas
sepeda motor bernama salah satu planet di tata surya, hujan deras tiba-tiba
menjatuhkan dirinya. Kami benar-benar basah, dan ia memeluk pinggulku dan
tertawa. Kami berdua tertawa karena hujan, dan cipratan dari kendaraan atau
genangan yang kami gilas.
Seorang pengunjung membawa sebuah
kotak kado bagi kawannya yang telah duduk di meja ujung satunya, membuat
memoriku tergugah. Ketika langit tiap hari cerah, ketika salah satu hari di
bulan itu adalah hari kelahiranku yang terulang, hubungan kami memanas. Hanya
karena kiriman hadiah dari pasanganku dulu, yang mampu memprovokasinya.
Penjelasanku tak mampu mengendalikan kekalutannya. Hingga ia menghentikan
pembicaraan, dan kami berdua selalu bernaung dalam kegundahan di tiap malam
kami. Hingga mata tak mampu terpejam, ungkapan gundah muncul di status jejaring
sosial berjejal hingga mungkin membuat orang yang membaca merasa muak. Seiring
penghujan tiba, kebun cinta kami yang kering kembali menghijau.
Lagu-lagu Italia yang sedari tadi
mengalun tak kugubris. Hingga kini masuk ke dalam saraf-saraf pendengaranku.
Hingga memancingku ingin menari, seperti ketika hujan bersamanya. Hujan
terakhir di akhir tahun. Hal yang sesungguhnya kurang menarik terjadi saat
tahun akan berganti. Namun menjadi hal yang selalu kukenang. Dalam guyuran
hujan, kami berdua berdansa. Seakan tak peduli kesehatan, pandangan orang atau
apapun. Kami seakan hanya berdua. Tawa dan keceriaan terpancar dalam wajahnya,
seperti yang nampak dalam wajahku. Seperti kata-katanya di pertemuan pertama
kami. Hujan juga membawa ceria seperti saat cerah. Hujan ada pada cinta kami.
Namun langit cerah kemarau kembali
mengadu. Hingga membuatku berada di sini memintanya untuk datang kemari, dan
kami sendiri-sendiri tak seperti biasanya. Ia hadir mengenakan jaket merah yang
kuberikan saat kami pertama kali ke tempat ini. Ia perlahan duduk di hadapanku
dengan mendung yang menggantung di wajahnya. Mendung yang datang karena ketidak
setiaannya. Mungkin ia sudah tahu bahwa aku akan meninggalkannya di tempat yang
bagi kami penuh memori. Aku tahu, sangat menyakitkan. Memori-memori yang tadi
kembali dalam ingatanku mencoba menahanku untuk tak meninggalkannya. Hingga
perlahan air matanya menetes dari pelupuk matanya. Aku melihat hujan di
cerahnya kemarau ini. Aku tak tahu harus memulai eksekusi atau bangkit dari
kursi dan memeluk tubuhnya. Aku hanya terdiam, mencoba bertanya dalam hati,
akankah hujan kembali menyatukan kami?
Mazda
Radita Roromari
Senin,
10 Oktober 2011;12:55 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana pendapatmu?