10 Oktober 2011

HUJAN ADA PADA CINTA KAMI



Banyak orang beranggapan langit cerah, tanpa awan kelabu menggantung di langit, adalah hari yang menyenangkan. Begitu juga aku. Memiliki anggapan yang sama dengan mayoritas suara yang berujar hari cerah sama dengan bahagia, hingga aku bertemu dengan Novi, gadis yang kutunggu kedatangannya di restoran Italia favorit kami. Ia yang mengenalkanku pada hujan.

Aku mengingat pertama kali kami bertemu tiga tahun yang lalu. Arak-arakan awan mendung semakin menutupi langit dan membuat kakiku semakin cepat melangkah. Awan menumpahkan hujan seperti air yang tertumpah dari ember yang terlempar. Mengejutkanku dan membuat naluriku memintaku untuk berlari mencari tempat teduh, dan sebuah halte penuh poster event yang usang menjadi sasaran pelarianku. Aku segera duduk di kursi halte, dan kostum putih abu-abuku untunglah tak begitu basah. Aku benci dengan hujan. Baru kusadari ada seorang gadis seusiaku juga duduk di halte tersebut. Ia tersenyum, bukan padaku, namun pada air hujan yang tanpa ampun menghujam segala yang ada di daratan.
“Cobalah perhatikan irama hujan.” Tiba-tiba ia berujar. Aku tak melihat seseorang pun di halte ini. Mungkin dia berbicara sendiri, pikirku sembari menunggu hujan reda.
“Kamu sudah dengar iramanya belum?” ia kembali berkata, namun berwujud pertanyaan. Apakah aku yang dia tanyakan?
“Aku belum mendengarnya.” Jawabku berusaha untuk menghargai pertanyaannya, namun ragu apakah memang aku yang mendapat pretanyaan itu.
“Coba perhatikan dengan seksama rintiknya.” Ujarnya lagi memberi saran. Aku pun berusaha mencerna irama yang muncul dari rintik hujan. Aku tetap tak paham irama apa yang ia maksudkan. Kami terdiam cukup lama.
“Aku belum mendengar iramanya.” Suaraku mengucapkan kalimat hasil dari keberanianku untuk menyambung kembali pembicaraan. Tiba-tiba ia berdiri, memegang tangan kiriku dengan tangan kanannya yang lembut untuk menarikku ke samping halte. Hujan mengguyur kami berdua, dan ia tertawa padaku sembari merentangkan tangannya dan menengadahkan kepalanya menikmati hujan yang menerjang tubuhnya. Segera aku tarik tubuhnya kembali ke halte.
“Kamu gila ya? Hujan-hujan. Sudah tenang-tenang di halte malah hujan-hujan. Ngajak aku pula!” Ujarku sedikit emosi.
“Hahaha! Aku cuma ngajak kamu dengerin irama hujan. Gimana? Kamu sudah dengar?” jawabnya bercanda.
Aku hanya diam menahan emosi. Namun perlahan, aku mulai menikmati hujan, dan seakan mendegar suatu irama, mungkin itu yang ia maksudkan. Kami diam cukup lama.
            “Aku sudah mulai mendengar yang mungkin kau maksud,” ujarku mencoba mencairkan suasana yang seakan membeku karena dingin yang diciptakan hujan, “Namaku Julius.” Cobaku mengajak teman halteku berkenalan.
            “Namaku Novi. Baguslah kalau kamu bisa mendengarnya, dan kamu mulai bisa menikmatinya. Orang yang menganggap hari cerah menyenangkan, mungkin tak pernah berdansa dalam hujan.” Jawabnya atas ungkapan-ungkapanku. Pembicaraan kami pun berlanjut.

            Mentari terik membakar bumi. Cerahnya langit-langit musim kemarau tak mampu membuatku terhibur, seperti saat langit cerah sebelumnya. Mungkin rasa cemburu muncul dalam nuraniku ketika ia menjalin kekasih dengan teman sekolahnya. Aku pun berusaha realistis dan berkaca diri, bahwa aku bukan siapa-siapanya. Kemarau ini membuatku merasa kekeringan oleh perasaan. Hingga musim penghujan, ia berpisah karena kekerasan kekasihnya. Hingga aku merasa bingung pada diriku, apakah harus bersuka atau berduka.

            Masih sepuluh menit lagi waktu yang kami tentukan untuk bertemu. Aku duduk sendiri di meja favorit kami jika datang kemari. Hingga pikiranku melayang kembali pada kenangan kami kemari pertama kali, sekitar setahun setelah pertemuan kami. Meja di sudut dengan dua kursi menjadi pilihan kami, karena kami awalnya berniat melihat dekorasi foto-foto di Italia, dan tempat itu menjadi favorit kami hingga saat ini. Pizza dengan isi seafood, segelas lemon dingin di sisiku, dan strawberry lassy di sisinya menjadi hal yang selalu di meja kami, dan entah mengapa, kami tak pernah bosan. Di tengah perjamuan kami di hari itu, gerimis turun. Kami menanti gerimis reda, mengisi waktu dengan obrolan, canda, debat, hingga tak terasa dua jam kami di sana. Tapi gerimis belum reda, dan aku tak membawa jas hujan. Ia tak mempermasalahkan hujan, dan mengajakku untuk kembali pulang. Pikirku jarak rumahnya dengan restoran ini dekat, dan gerimis hanya membuat kami sedikit basah. Jaketku kuberikan padanya untuk dikenakan. Ketika kami melaju di atas sepeda motor bernama salah satu planet di tata surya, hujan deras tiba-tiba menjatuhkan dirinya. Kami benar-benar basah, dan ia memeluk pinggulku dan tertawa. Kami berdua tertawa karena hujan, dan cipratan dari kendaraan atau genangan yang kami gilas.

            Seorang pengunjung membawa sebuah kotak kado bagi kawannya yang telah duduk di meja ujung satunya, membuat memoriku tergugah. Ketika langit tiap hari cerah, ketika salah satu hari di bulan itu adalah hari kelahiranku yang terulang, hubungan kami memanas. Hanya karena kiriman hadiah dari pasanganku dulu, yang mampu memprovokasinya. Penjelasanku tak mampu mengendalikan kekalutannya. Hingga ia menghentikan pembicaraan, dan kami berdua selalu bernaung dalam kegundahan di tiap malam kami. Hingga mata tak mampu terpejam, ungkapan gundah muncul di status jejaring sosial berjejal hingga mungkin membuat orang yang membaca merasa muak. Seiring penghujan tiba, kebun cinta kami yang kering kembali menghijau.

            Lagu-lagu Italia yang sedari tadi mengalun tak kugubris. Hingga kini masuk ke dalam saraf-saraf pendengaranku. Hingga memancingku ingin menari, seperti ketika hujan bersamanya. Hujan terakhir di akhir tahun. Hal yang sesungguhnya kurang menarik terjadi saat tahun akan berganti. Namun menjadi hal yang selalu kukenang. Dalam guyuran hujan, kami berdua berdansa. Seakan tak peduli kesehatan, pandangan orang atau apapun. Kami seakan hanya berdua. Tawa dan keceriaan terpancar dalam wajahnya, seperti yang nampak dalam wajahku. Seperti kata-katanya di pertemuan pertama kami. Hujan juga membawa ceria seperti saat cerah. Hujan ada pada cinta kami.

            Namun langit cerah kemarau kembali mengadu. Hingga membuatku berada di sini memintanya untuk datang kemari, dan kami sendiri-sendiri tak seperti biasanya. Ia hadir mengenakan jaket merah yang kuberikan saat kami pertama kali ke tempat ini. Ia perlahan duduk di hadapanku dengan mendung yang menggantung di wajahnya. Mendung yang datang karena ketidak setiaannya. Mungkin ia sudah tahu bahwa aku akan meninggalkannya di tempat yang bagi kami penuh memori. Aku tahu, sangat menyakitkan. Memori-memori yang tadi kembali dalam ingatanku mencoba menahanku untuk tak meninggalkannya. Hingga perlahan air matanya menetes dari pelupuk matanya. Aku melihat hujan di cerahnya kemarau ini. Aku tak tahu harus memulai eksekusi atau bangkit dari kursi dan memeluk tubuhnya. Aku hanya terdiam, mencoba bertanya dalam hati, akankah hujan kembali menyatukan kami?


Mazda Radita Roromari
Senin, 10 Oktober 2011;12:55 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapatmu?