“Lalu, gimana hubunganmu sekarang dengan Ana?” Suara lembut Asih memulai pembicaraan yang sempat terhenti, karena kesibukan dengan telepon genggam masing-masing.
Sepi kembali terasa dan raut wajah Adit yag diberi pertanyaan berubah menjadi menampakkan ketidakpastian. Setelah menghela nafas, jawaban pun terucap dari mulutnya, “Aku tidak tahu saat ini bagaimana. Aku merasa akhir-akhir ini dia menjauh. Aku ga tahu dia sekarang gimana. Aku jarang denger kabarnya sekarang. Kalau ternyata dia ingin menjauh, mau bagaimana lagi. Aku ga mau maksa dia komunikasi terus ama aku.”
Sepi kembali menyusup di antara mereka. Yang terdengar hanya suara daun yang bergemerisik karena tertiup angin dan suara pembawa berita di TV yang disaksikan ayah Asih.
“Sebenarnya aku masih merasakan kehangatan tangannya,” kata Adit sembari melihat tangan kanannya, “Selama sehari di reruntuhan itu, kami seringkali bergandengan tangan. Waktu jalan di gang kampong, naik di atas reruntuhan, ampe waktu naik becak.Sempat kami semakin dekat. Tapi ga berlangsung lama. Dia tau-tau mulai terasa jauh.”
“Kenapa kamu ga nanya langsung ke dia?” timpal Asih
“Aku ga mampu nanya hal itu langsung ke dia. Aku ga mau ganggu kehidupan pribadinya dengan menanyakan hal itu.” Jawabku pelan, dan sepi kembali datang di beranda tempat dua orang itu duduk.
“Tapi sebenarnya aku ingin ketemu dia.” Kata Adit mencoba memecah sepi.
“Kenapa kamu ga datang ke rumahnya saja?” tanya Asih
“Aku belum tau rumahnya!” jawab Adit seperti orang tolol.
“Tanya dong!” timpal Asih
“Udah. Tapi belum nyari. Ya, kalau dia nerima kedatanganku.” Jawab Adit dan wajahnya semakin meredup, ”Sebenarnya, akhir minggu kemarin dia mau kuajak pergi keluar berdua. Tapi dia nolak mentah-mentah ajakanku. Mungkin caraku ngajak dia terlalu aneh.”
“Gimana caramu ngajak dia keluar?” tanya Asih penasaran.
“Waktu chatting, aku nulis, ‘Aku akhir minggu besok mau pergi ama seorang gadis. Rumahnya satu komplek ama kamu. Kamu kenal yang namanya Ana ga? Tapi aku ga tau dia mau apa ga.’ Dia jawabnya langsung, ‘Ga. Dia ga mau.’ Kata-kata yang telak langsung kuterima.” Ujar Adit memberi penjelasan.
“Hahaha…. Kasian banget kamu.” Ujar Asih mengejek.
“Aku sebenarnya masih ingat kejadian di reruntuhan itu. Kami berdua seperti sepasang kekasih. Tapi sayangnya “seperti” dan sebenarnya kami bukanlah kekasih. Sempat waktu liat pameran, aku dan Ana dikira pacaran. Sebenarnya aku belum tau sesungguhnya gimana perasaannya terhadapku.” Cerita Adit kepada Asih
“Pernah kamu tanyakan tentang hal itu?” tanya Asih
“Belum.” Jawab Adit singkat
“Kenapa kamu ga nanya?” Tanya Asih lagi.
“Saat ini saja dia menjauh. Aku bingung juga harus bagaimana menanyakannya. Aku takut pertanyaan itu malah ganggu dia. Umapama dia juga punya perasaan yang sama, trus mau ku gimanain dia. Kamu tahu, kan? Aku punya janji dengan diriku sendiri. Aku ga akan pacaran sampai aku lulus SMA. Tapi, dengan keadaan yang sekarang, sepertinya dia udah nemuin orang yang lain, dan dia sepertinya lebih menikmati itu. Aku ga mau ganggu dia.” Ujar Adit dengan sedikit memelas.
“Mungkin dia memang sudah punya hubungan ama orang lain. Kalau tau-tau menghilang atau menjauh biasanya kasusnya kaya itu. Dia punya gebetan lain. Ga Cuma cewek, cowok juga kaya gitu, kan?” kata Asih.
“Mungkin saja.” Adit menanggapi kata-kata Asih dengan jawaban yang lemas dan air mukanya meredup. Suara gemerisik daun, suara jangkrik, dan suara TV kini yang menguasai beranda rumah itu.
“Bakar rumah aja nih!” ucap Adit spontan.
“Kenapa?” tanya Asih.
“Sepi di sini. Kita kehabisan obrolan juga.” Jawab Adit.
“Hahaha…. Ngomong apa ya?.” Ungkap Asih sambil berpikir.
“Kamu masih pusing, Sih? Tanya Adit ke Asih, karena sebelumnya Asih merasa pusing.
“Masih agak pusing. Tapi sudah baikan kok.”
“Baguslah kalau uda baikan. Tapi kalau kulihat, kamu masi kelihatan capek. Maaf. Aku seharusnya ga di sini sekarang. Aku ganggu kamu untuk istirahat.”
“Ga apa-apa kok, Dit. Malah aku seneng kamu datang ke rumahku.”
Suasana kembali menyepi di beranda rumah itu. Sesekali kaki Adit seperti menggambar sesuatu di atas ubin berwarna hijau zamrud dengan kakinya. Sesekali Adit juga memandangi wajah Asih. Tak sengaja, Asih melihat pergerakan mata Adit yang memandang wajahnya.
“Kamu jangan ngliat aku kaya gitu!” hardik Asih.
“Ga boleh ya? Aku cuma mikir, kamu sekarang lebih cantik daripada dulu. Aku lebih baik jujur daripada hanya menyimpannya di dalam perasaanku saja. Bukankah sesuatu harus dikatakan dengan jujur? Aku ga mau munafik mengatakan kamu sama saja seperti dulu, tetapi kenyataannya kamu sekarang lebih cantik.” Jelas Adit.
“Makasih.” dengan wajah tersipu, Asih menanggapi kata-kata Adit.
“Sama-sama, walaupun sebenarnya., ga usah berterima kasih. Aku cuma mengatakan apa adanya. Tapi, kata-katamu tadi mengingatkanku akan Ana. Sama. Dia juga ngomong kaya gitu, waktu dia nglarang aku liat wajahnya.” Ujar Adit sembari menyandarkan punggungnya ke kursi di beranda itu.
Senyap kembali memenuhi beranda di rumah yang terletak di batas utara kota Solo, di daerah yang senyap dan hanya memiliki satu tetangga dalam jalan yang sama. Di kiri, kanan, dan belakang rumah tersebut pun hanya ada semak-semak
“Sebenarnya ketika aku dan kamu minum es kelapa muda di dekat Taman Makam Pahlawan yang bau itu, sebenarnya aku merasa minder, Sih.” Ungkap Adit.
“Kenapa harus minder, Dit?” tanya Asih heran.
“Aku merasa ga layak untuk pergi dengan kamu. Sebenarnya, ga Cuma kamu aja. Ketika ngobrol atau jalan ama teman-temank perempuanku yang lain aku juga merasakan hal yang sama. Aku sebenarnya ga tau alasan pastinya. Tapi aku merasa minder dengan mereka sebenarnya. Mengapa aku bisa berjalan bersama dengan orang-orang yang luar biasa, dan aku merasa lebih rendah kastanya. Aku kurang layak untuk berjalan beriringan. Walaupun antara kita ga ada hubungan apa-apa kecuali teman.” Adit menerangkan.
“Tapi, mengapa kamu masih tetap berhubungan dengan mereka? Padahal kamu merasa mereka terlalu berarti, Dit.” Tanya Asih.
“Entah mengapa aku selalu merasa nyaman dengan mereka. Seringkali aku takut, kalau secara ga langsung menyakiti hati mereka. Hati perempuan lebih peka. Aku seringkali takut salah ngomong. Aku pun ngrasa diriku bukanlah pribadi yang enak untuk diajak ngobrol. Pembicaraanku seringkali jadi serius. Seperti sekarang ini.” Ungkap Adit sambil menghela nafas.
“Tapi, buatku kamu asik diajak ngobrol kok.” Kata Asih.
“Makasih, Sih. Kalau kamu anggap aku asyik diajak ngobrol. Andai aku asyik, mengapa ia menjauh dari aku? Mungkin benar kata-katamu tadi. Ia sudah menemukan yang lebih baik dan aku ternyata bukan apa-apa baginya. Itu adalah haknya, dan aku tak berhak melarangnya menjauh dariku. Aku salah karena terlalu berharap.” Ungkap Adit terbata-bata, dan keduanya kembali terdiam.
“Jam berapa kamu mau balik Jogja, Dit?” Tanya Asih.
“Jam delapan.” Jawab Adit.
“Kamu bolak-balik naik motor apa ga capek? Besok sekolah kan? Kenapa juga kok kamu mampir ke sini malam ini?”
“Aku ga peduli namanya capek. Aku mau ketemu kamu, Sih.” Kata Adit yang sepertinya tak dilanjutkan
“Untuk apa?” tanya Asih yang melihat gelagat aneh Adit.
“Lupakan aja, Sih! Walau sebenarnya aku ingin ketemu Ana. Tapi hari ini dia ga bisa. Pertemuan terakhirku dengannya, sikapnya dingin.” Ungkap Adit.
“Sih, makasih ya. Akhir-akhir ini kamu sudah menemani aku. Selama tempat magangku tutup, aku hanya di kos sendirian ga punya teman. Sejujurnya aku orang yang membutuhkan perhatian. Kamu tau kan apa yang terjadi dengan hidupku. Seringkali dikecewakan oleh orang-orang di sekitarku. Akhir-akhir ini cuma kamu yang memberiku perhatian lebih daripada orang lain. Ana dan beberapa temanku yang lain sekarang seakan menjauh.” Ungkap Adit pelan.
“Sama-sama, Dit. Kita kan teman. Udah selayaknya aku nglakuin itu.” Ujar Asih.
Mereka kembali terdiam. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir mereka berdua. Tak ada pembicaraan meskipun mereka hanya terpisah tempat duduk saja. Kali ini Adit memandang Asih semakin dalam.
“Jangan melihatku dengan cara seperti itu!” hardik Asih lagi.
“Memang seperti apa? Sepertinya aku memandang kamu biasa-biasa saja.” Ungkap Adit.
Mereka terdiam kembali. Pandangan Adit sekarang beralih ke tangan Asih yang kecil, dengan garis tangan yang dalam.
“Boleh ga aku menggenggam tanganmu, Sih?” Asih pun mengulurkan tangannya padaku belum mampu kugenggam tangannya Ibu Asih memanggil putrinya.
“Bentar, ya!” kata Asih.
Asih meninggalkan Adit seorang diri di beranda rumah. Dalam kesendiriannya, Adit terlihat berpikir. Hingga akhirnya ia mengirimkan sebuah SMS ke sebuah nomor. Nomor yang akhir-akhir ini tak pernah membalas SMS-nya. Ana .
“Ini teh hangat buat kamu.” Kata Asih sambil meletakkan sebuah cangkir di meja yang berada di kiri Adit.
Secangkir teh hangat dihidangkan oleh Asih kepada Adit di malam yang dingin itu. Teh hangat mungkin dapat mengusir rasa dingin. Tapi kehadiran teh hangat itu membuyarkan lamunannya akan kejadian yang lalu.
Tiba-tiba Adit menggenggam tangan Asih. Ia genggam seakan-akan tak mau melepaskan genggaman tangannya. Ia membelai rambut Asih dengan lembut. Pandangan matanya memancarkan kehangatan. Asih hanya diam menunduk tersipu dan membiarkan Adit. Sesaat kemudian Adit melepaskan tangannya yang menggenggam tangan Asih.
“Aku pulang sekarang aja ya, Sih. Aku mau pamit ke ortumu, tolong.” Ujar Adit. Asih pun memanggil orang tuanya dan Adit pun berpamitan. Orang tua Asih kemudian langsung masuk ke dalam rumah kembali.
Di depan rumah Asih yang berada di sekitar sawah Asih tiba-tiba berkata, “Adit, Aku mau ngomong. Sesungguhnya aku punya perasaan ke kamu. Aku ga ingin nyimpan ini terus menerus. Sesungguhnya mendengarkan ceritamu dengan Ana membuatku sakit. Tapi benar kata-katamu tadi, kamu punya hak untuk memilih dan aku ga berhak melarangmu memilih pilihan yang lain selain aku.”
Adit pun kemudian memeluk Asih dan membisikkan, “Sesungguhnya aku juga sayang kamu. Tapi aku takut kamu mengira dirimu adalah pelarian dari Ana. Aku hanya takut kau berpikiran seperti itu. Apakah kamu ga ngrasa aneh ketika aku datang ke rumahmu berulang kali bahkan malam-malam ketika esok hari aku harus ke Jogja untuk sekolah?”
Mereka melepaskan pelukan itu dan melangkah sejenak, kemudian berhenti. Adit menatap mata Asih dalam seakan tak ingin berpisah, kemudian berkata, “Sih, pernahkah kamu membaca cerpen berjudul ‘Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan Bibirmu?’?”
“Aku pernah mendengar judulnya.” Jawab Asih. Kecupan kecil dari bibir Adit kemudian mendarat di bibir Asih.
Adit pun berkata, “Maaf, Sih. Aku ga….” Belum sempat kalimat yang ingin dinyatakan oleh Adit selesai, Asih memeluknya.
“Aku sayang kamu. Aku ga ingin nyimpan ini terus menerus. Sesungguhnya mendengarkan ceritamu dengan Ana membuatku sakit. Tapi benar kata-katamu tadi, kamu punya hak untuk memilih dan aku ga berhak melarangmu memilih pilihan yang lain selain aku.” bisik Asih
“Aku juga. Sayang sekali sudah terlambat. Seharusnya kita sadar dan mengakuinya sejak dulu.” Ujar Adit pelan. Adit melepaskan diri dari pelukan itu. Meskipun suasana di situ sangatlah sepi, tetapi Adit tidak mau melakukan hal itu di sana.
“Mengapa kamu lakukan itu kepadaku? Bukankah kamu punya perasaan kepada Ana?” Tanya Asih kepada Adit.
“Tapi ternyata kamu lebih berarti untukku. Aku sempat ingin mengakui perasaan ini tapi yang kutakutkan kau akan mengira bahwa kamu hanya jadi pelarian. Makasih telah menghapus bekas bibirnya.”
“Bibir Ana? Apakah ciuman ini karena kamu ngira aku Ana?”
“Aku tidak akan pernah mampu untuk mencium bibirnya. Aku hanya mampu menggenggam tangannya dan membelai rambutnya. Ciuman ini untuk kamu. Hanya untuk kamu. Makasih, Sih.” Jawab Adit sembari berlalu dan menghampiri motornya, kemudian menjalankan mesin motornya. Jawaban yang tak dimengerti Asih.
“Aku sayang kamu.” Kata terakhir yang didengar Asih sebelum Adit hilang dari pandangannya. Kejadian ini akan terus terekam dalam memorinya.
Pagi hari, sebuah SMS terkirim ke nomor Asih. SMS dari Dana, teman SMA Asih dan juga teman dekat Adit ketika SMP.
Telah meninggal, teman dan sahabat kita, Aditya Wisnu Pratama, karena kecelakaan semalam. Jenazah akan dikuburkan pada pukul 14.00. Mari kita berdoa semoga amal ibadahnya diterima Allah Yang Maha Kuasa, dan keluarganya dapat dikuatkan.
Asih hanya diam terpaku. Menangis. Tangan kanannya menyentuh bibirnya yang telah tertera bekas bibir Adit.
Mazda Radita Roromari (14 Agustus 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana pendapatmu?