8 September 2011

SISWA PANDAI


KUKUH MENGENAKAN CELANA PENDEK DAN BERKAOS. IA DUDUK DI SEBUAH KURSI SAMBIL MENULIS DI ATAS MEJA BELAJAR YANG TERDAPAT BERBAGAI TUMPUKAN BUKU. TIBA-TIBA HANDPHONE YANG DILETAKKAN DI DEKATNYA BERDERING. IA KEMUDIAN MENGANGKAT PANGGILAN HANDPHONE TERSEBUT.


            Halo. Ada apa, To?

MENDENGARKAN PERCAKAPAN DALAM HANDPHONE TERSEBUT.

            Maaf, To. Aku nggak bisa. Aku sebentar lagi pergi. Minta tolong sama yang lain saja, ya? Maaf aku nggak bisa.”

MEMATIKAN PANGGILAN HANDPHONE

            Huuuh! Setiap hari selalu saja dihubungi untuk dimintai tolong masalah pelajaran. Padahal sudah berulang kali ditolak, masih saja mencari-carai dan menghubungi aku. Apa nggak ada kapok-kapoknya mereka?

Yah, begini susahnya menjadi siswa paling pandai dan berprestasi di sekolah dan daerah. Di ruang tamu rumahku, sudah puluhan piala dikoleksi sejak TK hingga SMA saat ini. Pastinya itu semua hasil dari usahaku menjuarai perlombaan. Mulai dari lomba bidang studi, seperti matematika, fisika, kimia, ekonomi, geografi, bahkan TIK. Lomba kesenian, pernah menang baca puisi berjudul “Aku” karya Chairil Anwar, pernah juga menang lomba monolog, judulnya “Anak Pandai”, cuma penulis naskahnya gak terkenal. Hingga perlombaan olahraga, mulai dari basket, sepakbola, sepak takraw, ping pong, bahkan catur. Perlombaan tingkat nasional saja pernah dijuarai apa lagi perlombaan tingkat RT. Keciiil!

Malas rasanya berhubungan dengan teman-teman sekelas. Gak hanya sekelas, tapi satu sekolah. Mereka semua pemalas. Malas kan awal dari kebodohan. Maka harus dihindari. Kalau tidak dihindari, takutnya nanti malah ketularan jadi malas. Kalau sudah malas, akhirnya menjadi bodoh juga. Aduh duh.

            Toto mau ke sini belajar Matematika bersama. Pilih beralasan pergi.  Biar dia gak datang kemari. Tidak mau mengajari. Bukan karena malas, tetapi gak mau berbagi tentang apa yang dimiliki. Kesuksesan ini biar milikku sendiri. Kalau aku bagi-bagi ilmunya, nanti banyak yang menyaingi dong. Bisa-bisa posisiku diganti orang lain. Oh, sorry.
Kalau mengingat apa yang dilakukan Sura ketika memberi tutorial, membuatku semakin gak mau untuk mengajari. Bagaimana lagi, pada saat itu Sura sudah berusaha mengajari, tapi yang lain malah sibuk sendiri. Ada yang ngobrol, main handphone, nyanyi-nyanyi. Aduh! Kasihan nglihat Sura. Padahal Sura bisa memanfaatkan waktunya belajar sendiri, daripada mengajari orang yang nggak peduli pengorbanannya. Gimana lagi, orang malas diajak maju, jelas saja susah!

MELIHAT SEBUAH KERTAS JADWAL PELAJARAN

Aduh! Besok ada pelajaran Biologi. Tugas kelompok lagi. Paling benci kalau guru memberikan tugas kelompok. Terpaksa harus berbagi dengan teman-teman pemalas itu. Seringnya, dan hampir selalu, hanya aku yang mengerjakan tugasnya. Malah seringkali semua aku kerjakan sendiri. Di samping karena mereka semua malas, alasan lainnya aku gak percaya terhadap mereka. Gimana lagi, ngurus diri sendiri dan tugas masing-masing saja gak beres, apalagi ngurus tugas bersama-sama yang pastinya menanggung kepentingan orang lain. Bikin pusing manusia-manusia madesu kaya gitu.

DUDUK KEMBALI, MENULIS SESAAT, KEMUDIAN BERHENTI.

            Tapi, aku merasa gak punya teman. Aku gak dekat dengan siapapun. Aku merasa sendiri. Apakah aku harus berteman dengan mereka? Orang-orang malas itu. Bisa-bisa aku jadi tertular malas. Akhirnya jadi bodoh juga. Tapi, aku belum pernah merasakan kehangatan pertemananan. Hingga hampir tujuhbelas tahun aku hidup, aku juga belum pernah memiliki sahabat.
            Jadi ingat kalau Boy ngrayu cewek-cewek, pake gombal-gombal yang bisa bersihin ompol. Jadi pengin kumpul-kumpul kaya David dan teman-teman geng motor yang sering pamer knalpot, velg, bahkan gantungan kunci baru. Ingin banget.

SUARANYA MENINGKAT

            Ah, tidak! Aku gak boleh melakukan itu semua. Bergaul dengan orang malas, dan melakukan tindakan-tindakan gak berguna. Lebih baik aku belajar dan belajar, gak berbagi sama siapapun. Karena ini semua untuk diriku sendiri. Bukan untuk orang lain. Aku, Kukuh, bersikukuh tetap menjadi diriku, yang berjuang untuk diriku sendiri.

KEMUDIAN DIAM, DAN RAUT WAJAH BERUBAH MENJADI SEDIH. KEMUDIAN DUDUK KEMBALI

             Tetapi aku harus menderita, karena sendiri.



Mazda Radita Roromari
Yogyakarta, 14 Januari 2009

1 komentar:

Bagaimana pendapatmu?