24 Oktober 2011

MEMPERSIAPKAN KEMATIAN?

Hari Minggu, 23 Oktober 2011, berita kematian pembalap MotoGP, Marco Simoncelli, menjadi berita yang mengejutkan. Aku sendiri pun terkejut akan hal itu. Karena aku sendiri tahun ini mulai mengamati dan menanti kejutan-kejutan darinya. Kejutan seperti podium atau mengalahkan pebalap-pebalap terkenal di arena MotoGP, meskipun sesekali dengan cara yang kontroversial. Tetapi senang melihat pebalap yang dianggap underdog (maksudnya bukan "di bawah anjing") bisa merangsek ke atas. Tapi aku menulis ini bukan bermasud membuat "tribute to : Marco Simoncelli". Bukan itu yang aku bahas, tapi kejadian mengejutkan tentang Marco Simoncelli bisa menjadi contoh dalam bahasanku ini.

Dalam kejadian Marco Simoncelli, tidak akan pernah ada yang menyangka dia bakal kencan dengan malaikat pencabut nyawa di lintasan balap. Kita tak akan pernah menyangka. Di novel grafis "a Life Force" karya Will Eisne, diungkapkan, "Jika Tuhan menciptakan manusia, maka makna hidup hanyalah tebak-tebakan setelah semua selesai dikatakan dan dikerjakan. Siapa yang benar-benar tahu kehendak Tuhan?" Tetapi kalimat itu bisa menjadi suatu kontroversi. Andai kita sedikit mengambil bagian dari kutipan itu, mungkin memang kita berada dalam situasi penuh tebak-tebakan, tak tahu selanjutnya apa yang akan terjadi; dan kita benar-benar tidak tahu makna Tuhan dari suatu kejadian, namun kita pasti mampu menciptakan makna itu sendiri, dan aku kira itu lebih realistis karena kita yang menjalaninya dan selalu berharap makna kita sesuai dengan makna-Nya. Masing-masing dari kita punya sudut pandang sendiri, memiliki makna sendiri, dari kejadian Marco Simoncelli itu. Berikut ini sudut pandangku mengenai kejadian Marco Simoncelli.


Memang kita tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, khususnya kematian. Seperti hal yang mungkin jadi candaanku, "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi sedetik kemudian." Tetapi kita masih bisa melakukan sesuatu dari kejadian yang akan terjadi di dari kita maupun orang lain. Tak ada yang lain selain mempersiapkan diri. Mungkin akan seperti berdakwah, namun memang itulah yang bisa kita lakukan. Kita tidak tahu kapan dan bagaimana hal itu terjadi di diri kita. Segala hal bisa menjadi penjemput kita, saat menonton sepakbola bisa, saat mengupil pun bisa.


Apa yang butuh kita siapkan? Pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan. Mungkin yang pertama adalah mental kita mengenai kematian. Satu hal, semua makhluk hidup di dunia ini pada akhirnya akan menuju ke hal tersebut. Jadi, jangan terlalu takut untuk kematian, namun jangan menantang diri untuk mati. Mati adalah hal yang alami. Kita tidak mati sendiri, teman-teman, keluarga, pasti juga akan mengalami itu. Bahkan orang mati suri pun pada akhirnya akan benar-benar mati.

Seringkali agama mengajarkan kita tentang adanya akhirat. Mungkin terdengar picik jika kita hanya menginginkan surga, sehingga kita berbuat baik atau rajin beribadah. Tetapi satu hal yang sebenarnya saya tangkap dari berbuat baik kepada orang lain. Ketika kita mampu berbuat baik kepada orang lain, saya yakin kita akan mengalami suatu kelegaan dan kebahagiaan yang tak bisa terungkapkan. Lagipula, berbuat baik pun membuat kita memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain, dan kita semakin hidup dalam kedamaian. Beribadah pun, selain kita berinteraksi dengan Yang Kuasa, seringkali rasa damai itu juga muncul (jika kita sungguh-sungguh tulus dalam beribadah). Jika sewaktu-waktu kita berkencan dengan malaikat pencabut nyawa, kita tak ada beban lebih dan damai, mungkin tak ada rasa bersalah.


Bagaimana jika kita mempunya salah atau ada orang lain ada yang bersalah? Kita pun diajarkan maaf. Aku kira itulah jawabannya. Meminta maaf memang mudah, apalagi jika kita benar-benar merasa bersalah. Namun memaafkan adalah hal yang paling sulit, aku tidak akan memungkirinya juga. Memaafkan setelah dirasa ulang hanya mengenai mau atau tidak. Aku kira memaafkan dan dimaafkan mampu membuat kita menjadi lebih damai dan merasa tidak bermasalah dengan siapapun.


Yang tersulit dari ini semua adalah mengenai orang yang meninggalkan kita lebih dulu. Hal yang sulit untuk dijalani adalah tidak mampu melihat, berkomunikasi kembali dengan orang tersebut. Seringkali pula penyesalan muncul, seperti menyesal kita tak mampu berbuat lebih baik kepadanya, padahal kita mampu, atau kita memiliki salah, atau mungkin kita belum memaafkannya. Kita pun mungkin harus bersiap tentang orang lain. Berbuat baik, memaafkan dan dimaafkan sesungguhnya juga menyiapkan diri kita untuk kehilangan orang lain, atau mungkin menyiapkan orang lain untuk kehilangan kita. Dalam hal ini, bisa dikatakan adalah paket give and take.

Aku pun tak mampu memberi solusi dalam menghadapi kematian orang lain, tetapi dari pengalamanku, yang bisa kita lakukan adalah menerima dan selalu berusaha untuk lebih baik tanpa adanya orang yang meninggalkan kita. Secara tidak langsung seperti membuktikan diri dan seperti belajar dari orang yang meninggalkan kita. Walau aku tahu, rasa menginginkan orang tersebut kembali pasti selalu ada, dan kita pun tak bisa menolaknya.


Setelah ini semua terjadi pun, kita kemudian menyadari bahwa kehidupan itu sangat berarti. Namun, seringkali kita merasa lupa betapa sangat berartinya kehidupan kita. Kita mungkin tak peduli dengan kehidupan orang lain, namun kehidupan orang tersebut berarti bagi kehidupan orang di sekitarnya.


Maaf jika terasa seperti dakwah dan seperti orang yang sok tahu. Mungkin tulisan ini tidak mampu memberikan kebenaran yang sejati. Karena banyak hal yang memang belum aku alami, contohnya kematian. Tetapi aku hanya berbagi mengenai sudut pandangku, dan kita mungkin bisa sama-sama berbagi dan belajar untuk hal ini. 

"Aku belum pernah mati dan belum ingin mati, karena aku merasa tugasku belum usai. Namun jika aku harus dipanggil, aku siap untuk itu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapatmu?