16 November 2011

ANAK IBU


Naskah ini merupakan dramatisasi dari cerpen karangan Reda Gaudiamo yang berjudul sama. Naskah ini pernah dipentaskan saat Misa Malam Natal 2008 di Gereja St. Antonius, Kota Baru, Yogyakarta, oleh gabungan beberapa pelajar SMA Kolese De Britto Yogyakarta dan SMA Stella Duce Yogyakarta. Di dalam cerpen, cerita ini berkisah mengenai anak perempuan dengan Ibunya, namun dalam naskah ini karakter utama tersebut diganti oleh anak laki-laki. Hal ini dikarenakan mayoritas pemainnya adalah laki-laki.

(Panggung dibagi dua sisi. Sisi pertama terdapat sebuah meja dengan tumpukan buku-buku yang tertata berantakan. Sisi yang lainnya terdapat sebuah meja dan bunga di dalam vas, dengan tiga kursi atau satu kursi panjang)

(Panji Sekarang memasuki panggung di sisi pertama.)
Panji Sekarang            : (melihat ke arah meja kemudian menata buku)
“Berantakan sekali ini. Lebih baik aku bereskan saja.”
(Menemukan sebuah buku, kemudian membuka-bukanya)
 “Bukankah ini buku harianku ketika masih kecil?”
(membuka-buka halaman, kemudian berhenti di satu halaman dan membacanya)
“Ya ya ya. Nilai lima setengah itu.”

(Fokus panggung beralih ke sisi kedua yang menjadi imajinasi Panji Sekarang. Panji SD memasuki panggung membawa tas ransel)
Ibu                               : “Panji, anak Ibu, sudah pulang akhirnya. Bagaimana tadi ulangan Matematikanya? Hasilnya bagus, tidak?”
Panji SD                      : “Bagus, Bu. Yang terbaik di kelas.”
Ibu                               : “Wah, hebat! Berapa nilainya?”
Panji SD                      : “Lima setengah, Bu?” (sambil memberikan kertas ulangan ke Ibu)
Ibu                               : “Apa?! Lima?!”
Panji SD                      : “Lima setengah, Bu.”
Ibu                               : “Lima setengah, ya lima! Tidak bisa dibulatkan menjadi enam, seperti 5,8 atau 5,9. Ini tetap lima!
(Sambil meremas-remas kertas ulangan dan membuangnya. Panji SD memungut kertas ulangan tersebut dan melihat nilainya kembali)
                                    “Nilai-nilaimu sungguh mengkhawatirkan. Sekarang lima, yang lalu empat.”
Panji SD                      : “Tapi ini yang terbaik di kelas, Bu.”
Ibu                               : “Terbaik denagn nilai seperti itu tetap saja memalukan! Nilai delapan, sembilan, bahkan sepuluh sebenarnya bisa kamu dapatkan. Tetapi kamu malas belajar. Kamu baru belajar ketika Ibu sudah memarahi kamu.” (hening sejenak)
 “Ibu tidak meminta kamu seperti Ibu yang selalu mendapat nilai matematika lebih dari delapan. Nilai tujuh sudah menyenangkan Ibu. Apa susahnya mendapat nilai tujuh? Apa?
(Panji SD keluar panggung sambil membuang kembali kertas ulangan)

(Fokus kembali ke sisi pertama. Panji Sekarang tersadar dari lamunannya ketika ia masih kecil)
Panji Sekarang            : (menghela nafas, kemudian menata buku-bukunya kembali dan menemukan sebuah buku dan membuka-buka)
                                    Ini tahun 1983, berarti ketika aku sedang pemilihan jurusan.”

(Ibu memakai kacamata sambil membaca koran. Panji SMA masuk membawa tas slempang)
Panji SMA                  : “Aku mau masuk jurusan Bahasa, Bu.
Ibu                               : “Kenapa tidak masuk jurusan IPA?”
Panji SMA                  : “Tapi itu cocok sama hasil tes IQ, Bu.”
Ibu                               : “Ah, tes IQ kan buatan manusia. Hasilnya dapat salah. Kamu berbakat untuk IPA. Nyatanya kamu senang melakukan percobaan kimia, hingga membedah kodok dan burung dara. Ibu pun merasa, kamu sangat pantas menjadi dokter, arsitek, insinyur, semuanya!”
Panji SMA                  : “Tapi, Kepala Sekolah memintaku ke sana.”
Ibu                               : “Tahu apa dia tentang kamu? Pokoknya Ibu akan ketemu Kepala Sekolahmu. Ibu akan bilang kalau kamu masuk IPA. Otakmu yang bagus sia-sia kalau untuk pelajaran di bahasa yang remeh-remeh.”
Panji SMA                  : “Tapi …”
Ibu                               : “Tidak ada tapi-tapian. Kamu sebenarnya bisa. Tetapi kamu malas. Terlalu banyak main!”
                                    (Panji SMA mulai menunduk diam)
“Ibu tidak minta macam-macam. Ibu cuma ingin di rumah kita ada dokter. Yaitu kamu! Itu saja. Heran, apa susahnya masuk IPA? Apa?”
                                    (Panji SMA keluar dari menenteng tas dan sepatunya)

(Fokus kembali ke sisi pertama. Panji Sekarang kemudian menghela nafas setelah mengingat kejadian di lamunannya. Kemudian ia menata buku lagi dan menemukan buku yang lain, ia buka kembali halaman demi halaman)
Panji Sekarang            : “Tahun 1994. Harapan ketika menjadi dokter.”

(Fokus ke sisi dua. Ibu memakai kacamata dan scarf. Panji Kuliah memasuki panggung tanpa membawa apa-apa)
Panji Kuliah                : “Bu, aku akan membuka klinik bersama teman-teman.”
Ibu                               : “Bagus.”
Panji Kuliah                : “Ibu mau jadi penasihatnya?”
Ibu                               : “Pasti! Ibu mau dengan senang hati. Kapan klinikmu akan buka?”
Panji Kuliah                : “Masih akhir tahun ini kok, Bu.”
Ibu                               : “Mau buka klinik di mana?  Di rumah kita? Pakai saja pavilion samping rumah.”
Panji Kuliah                : “Tidak, Bu. Kami akan buka klinik di Kampung Nelayan, tempat kami dulu praktek.”
Ibu                               : “Ya ampun! Ibu tidak setuju. Sangat tidak setuju. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, lama-lama, dan mahal-mahal, kalau kamu akhirnya hanya praktek di kampung nelayan? Berkarya untuk orang yang tidak dapat mengganti jerih payahmu. Kapan kamu akan kaya?”
Panji Kuliah                : “Kaya?”
Ibu                               : “Ya. Kaya. Banyak duit! Hidup senang! Seperti dokter-dokter yang lain.”
Panji Kuliah                : “Aku tidak ingin menjadi seperti itu, Bu.”
Ibu                               : “Kamu sudah seperti Bapakmu yang sok sosial itu, ya? Kalau sudah dapat masalah memohon pertolongan Ibu.”
Panji Kuliah                : “Dulu Ibu bilang di rumah ini harus ada dokter. Sekarang aku sudah menjadi dokter, tetapi Ibu melarang…”
Ibu                               : “Pintar omong kamu. Kalau Ibu tahu kamu bakalannya akan pintar omong seperti ini, Ibu membiarkan kamu buta huruf. Biar tidak pintar omong seperti sekarang.”
Panji Kuliah                : “Tapi, Bu…”
Ibu                               : “Masih menjawab?! Ibu hanya ingin kamu bahagia. Dengarkan Ibu jika kamu ingin hidup bahagia. Jadilah seperti dokter-dokter yang lain. Buka praktek sewajarnya. Sehingga kamu bisa kaya. Apa susahnya buka praktek seperti biasa? Apa?”
                                    (Panji Kuliah keluar panggung dengan langkah lesu)

(Fokus ke sisi pertama. Panji Sekarang menghela nafas. Mengambil buku harian yang lain)
Panji Sekarang            : “Buku ini tahun 1999. Berarti saat aku berusia 30 tahun.

(Fokus ke sisi dua. Ibu memakai kacamata dan scarf serta terdapat sedikit uban di rambutnya. Panji Lampau masuk memakai jas dan membawa tas jinjing)
Ibu                               : “Anaknya Bu Sis nikah minggu depan. Anak yang bungsu. Siapa namanya?”
Panji Lampau              : “Sri?”
Ibu                               : “Ya. Sri.”
Panji Lampau              : “Ya ampun. Umurnya paling baru…”
Ibu                               : “Jangan ampun-ampun! Kamu sendiri umurnya berapa? Tahun ini tiga puluh. Kapan kamu akan nikah? Mau menunggu hingga Ibu bersatu dengan tanah?”
Panji Lampau              : “Ibu!”
Ibu                               : “Bagaimana lagi. Kamu terlalu keasyikan kerja. Setiap ditanya kamu selalu menjawab nanti, nanti, nanti.”
Panji Lampau              : “Bukan itu masalahnya, Bu.”
Ibu                               : “Memang itu masalah kamu! Kamu terlalu asyik bekerja. Di kamar praktek melulu. Kenalan! Bergaul! Tidak hanya dengan pasienmu.”
Panji Lampau              : “Ya. Ya…”
                                    (menjawab sekenanya sambil meleng)
Ibu                               : “Ya, ya apa? Kalau Ibu bicara, perhatikan. Jangan sibuk sendiri! Kapan-kapan ikut Ibu arisan atau kumpul-kumpul keluarga. Ibu yakin, om-om dan tante-tantemu sudah menyiapkan jodoh untuk kamu. Masalahnya kamu tidak bisa dan tidak sempat cari pasangan sendiri. Biar Ibu yang cari.”
Panji Lampau              : “Kalau nggak cocok bagaimana?”
Ibu                               : “Pasti cocok!”
Panji Lampau              : “Tapi kalau memang nggak sreg, mana bisa dipaksa, Bu?”
Ibu                               : “Itu tergantung kamu sendiri. Hatimu sendiri yang mengatur itu. Percaya sama Ibu. Ibu cuma minta kamu dapat pasangan. Kawin. Punya istri. Ibu cuma ingin lihat kamu bahagia. Jadi, Ibu bisa segera punya cucu. Ya. Cucu. Apa susahnya nikah? Apa?”
                                    (Panji Lampau keluar panggung dengan langkah malas)

(Fokus kembali ke panggung sisi pertama. Panji Sekarang menghela nafas, kemudian menutup buku ketika melamun, Saras masuk kemudian menepuk bahunya)
Saras                            : “Jadi tidak menemui Ibu.”
Panji Sekarang            : “Jelas jadi. Ayo sekarang!”  
(Panji Sekarang dan Saras memasuki panggung bagian satunya)
Panji Sekarang            : “Ibu! Ibu!”
(Ibu masuk ke panggung, memakai kacamata dan scarf, serta rambut berubannya semakin penuh)
Ibu                               : “Ya, Panji. Ada apa? O ya, tadi Ibu denger-denger Bulik Nik sekarang cucunya empat lho. Menyenangkan, ya?”
Panji Sekarang            : “Ya. Sangat menyenangkan. Ramai.”
Ibu                               : “Karena itu, Ibu sekarang jadi pengin cucu lagi. Masa cucunya baru satu, Reda. Kapan cucu kedua Ibu akan lahir?”
                                    (Saras kemudian menangis)
                                    “Lho, Saras, kenapa kamu menangis?”
Panji Sekarang            : “Sepertinya tidak ada cucu kedua, Bu.”
Ibu                               : “Lho, kenapa? Ada apa?”
Saras                            : “Kami memutuskan untuk berpisah, Bu.”
Ibu                               : “Jangan! Jangan berpisah!”
Panji Sekarang            : “Aku tidak mau, Bu! Aku tidak mau hidup dengan istri yang tidak bisa apa-apa. Dia tidak bisa melayani suami seperti pada umumnya. Lihat! Baru begini saja sudah menangis. Lebih baik aku dengan perempuan lain yang lebih mampu untuk melayani suaminya.
Ibu                               : “Jangan! Pokoknya jangan bercerai! Panji, jadilah suami yang hebat. Ajari Saras bagaimana menjadi istri yang baik. Kalau kamu mampu membentuknya menjadi baik. Menjadi kebanggaan bagi dirimu. Saras, masa kamu mau-mau saja digugat cerai suamimu?”
Saras                            : “Biar Mas Panji saja yang menetukan, Bu. Saya ikut saja.”
Ibu                               : “Saras, janganlah kamu menjadi istri yang seperti itu. Tidak mampu menentukan keputusan. Jadilah istri yang kuat dan tidak mudah mengalah seperti ini. Jadilah seperti Ibu yang sampai sekarang masih kuat menjadi seorang istri, meskipun mertuamu pergi dengan perempuan lain. Sudahlah, kalian jangan bercerai. Apa kata orang kalau tahu kalian bercerai?”
Panji Sekarang            : “Tidak, Bu! Aku ingin tetap cerai.”
Ibu                               : “Janagnlah kalian bercerai. Kalian harus bisa memahami diri kalian masing-masing. Kalian harus bisa. Ini bukan buat Ibu. Ini buat kebaikan kalian sendiri. Tidak baik melepaskan diri dari ikatan perkawinan. Aib itu.”
Saras                            : “Sudahlah, Bu. Turuti saja kemauan Mas Panji.”
Ibu                           : “Panji, dengarkan Ibu. Ibu tidak minta macam-macam. Ibu cuma ingin kamu bertahan. Demi Ibu. Kau ini anak Ibu. Kau pasti tidak ingin ibu jadi sedih dan malu karena keputusanmu itu, kan? Sudah, cuma itu. Ibu tidak minta macam-macam… Apa susahnya? Apa?”
(Panji pergi dengan perasaan marah, Saras mengejar, dan ibunya pergi mengejar mereka berdua)


Mazda Radita Roromari (20 Desember 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapatmu?