20 Desember 2011

BERGAUL DENGAN PENYANDANG CACAT

Mungkin terlambat jika tulisan ini dimuat saat ini, apabila kita melihat tentang kaitannya dengan ajang 6th ASEAN Para Games 2011 Solo, yang telah berakhir. Tapi tak ada salahnya juga kita bahas hal ini, karena mungkin saja tulisan ini bermanfaat untuk ke depannya. Tulisan di sini, selama perhelatan 6th ASEAN Para Games 2011, saya jadikan pembimbing awal saya untuk melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Tulisan ini memang bukan dari saya, melainkan buah karya orang lain. Saya mampu menyerap manfaat dari tulisan ini, dan saya kira Anda sekalian pun juga mendapatkan manfaat tersebut.

Berikut ini tulisan dari Ahmad Arif (Livelihood Program Officer Qatar Charity Indonesia Cabang Aceh) yang menyebutkan bahwa terdapat enam hal-hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam pergaulan sehari-hari dengan penyandang cacat. 


Pertama, bertanyalah dulu sebelum membantu. Apabila sebuah lingkungan aksesibel, mereka biasanya mampu melakukan segala sesuatu dengan baik. Seorang penyandang cacat dewasa mengharapkan dirinya diperlakukan sebagai pribadi mandiri. Karenanya, jangan pernah beranggapan bahwa seseorang itu membutuhkan pertolongan hanya karena ia cacat. Tawarkan bantuan kita hanya ketika melihat mereka saat membutuhkannya. Lalu, bertanyalah kepadanya bagaimana kita dapat membantunya sebelum melakukannya.

Kedua, peka terhadap kontak fisik. Beberapa di antaranya tergantung pada kedua tangan mereka untuk menjaga keseimbangan. Memegang kedua tangannya-walaupun kita bermaksud membantunya-justru dapat membuatnya kehilangan keseimbangan. Hindarilah menepuk kepala seseorang atau memegangi kursi rodanya, skuter, atau tongkatnya. Penyandang cacat menganggap alat bantu mereka sebagai bagian dari hak privasinya.

Ketiga, pertimbangkanlah sebelum berbicara. Sebaiknya kita langsung kepada mereka, bukan pendamping/penerjemah bahasa isyaratnya. Ngobrol santai dengan mereka merupakan hal yang baik. Berbicaralah kepadanya sebagaimana yang kita lakukan juga kepada orang lain. Sebagian mereka akan merasa kita memprlakukannya mereka bukan sebagai manusia apabila bertanya tentang kecacatannya.

Keempat, jangan berasumsi. Mereka adalah pengambil keputusan terbaik mengenai apa yang dapat/tidak mereka lakukan. Janganlah mengambil keputusan untuk mereka mengenai bagaimana mereka terlibat dalam aktivitas tertentu. Mengabaikan seseorang karena berasumsi tentang keterbatasannya dapat menjadi pelanggaran terhadap hak mereka.

Kelima, menanggapi permintaan dengan ramah. Ketika seorang penyandang cacat menanyakan suatu pelayanan di perusahaan/kantor kita, itu bukanlah sebuah keluhan. Itu justru menunjukkan bahwa ia merasa cukup nyaman berada di kantor kita untuk menyatakan apa yang ia butuhkan. Apabila ia mendapatkan tanggapan positif, mungkin ia akan kembali lagi dan menceritakan kepada teman-temannya tentang pelayanan bagus yang ia terima.

Keenam, bahasa atau istilah. Ucapan dan tulisan kita mampu meningkatkan martabat mereka atau malah sebaliknya. Beberapa kata dan frasa tidak mengenal cakupan yang luas mengenai kemampuan mereka. Mereka tidak butuh atau tidak ingin dikasihani, dianggap "istimewa" atau "berani" apabila berhasil menyelesaikan kegiatan/pekerjaan sehari-hari.

Mari gunakan istilah "Penca" daripada orang cacat atau orang pincang, tunanetra daripada orang buta. Namun perlu disadari, mereka tidak menyukai istilah-istilah eufimisme (memperhalus) seperti "terhalang secara fisik" atau "kemampuan berbeda" dan seterusnya.


Semoga tulisan tersebut bermanfaat bagi Anda, seperti manfaat yang telah saya rasakan selama berkecimpung dalam kegiatan 6th ASEAN Para Games 2011.


Sumber : http://www.detiknews.com/read/2011/12/05/100137/1782480/471/etika-bergaul-dengan-penyandang-cacat (diambil pada 20 Desember 2011, pukul 01:00 WIB)

Ucapan terima kasih terkhusus kepada Ahmad Arif atas izin untuk mempublikasikan ulang tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapatmu?