Di awal Epic Java, tertulis
sebuah narasi tentang suatu daerah yang indah, sebuah wilayah yang konon
adalah titisan dewa-dewa. Javadvipa namanya, yang tak lain adalah Pulau
Jawa. Di penutup film, kembali muncul sebuah narasi yang menekankan
narasi di awal film, plus sebuah pesan bahwa manusia saat ini
bertanggungjawab untuk melestarikan Pulau Jawa.
Dan pembuat film tak tanggung-tanggung
dalam mewujudkan daerah titipan dewa ini secara visual. Selama tiga
puluh menit durasi film, Epic Java tak putus-putusnya
menampilkan keindahan alam di pulau jawa: pantai, karang, deburan ombak,
air terjun, tebing, sungai, kera di pohon, bangau di sungai,
burung-burung di karang, dan sejenisnya. Sesekali tidak hanya bentang
alam saja yang terjadi dalam Epic Java. Beberapa ritual
kebudayaan dan spiritual di Jawa ditunjukkan juga. Reog Ponorogo, adu
domba di Garut, Tapa Bisu Mubeng Beteng di Yogyakarta, Waisyak di
Borobudur adalah beberapa ritual kebudayaan dan spiritual yang muncul
dalam Epic Java.
Adegan-adegan alam, budaya, dan
spiritual tersebut dikemas sangat indah. Momen-momen yang ditampilkan
menggugah penonton untuk mengunjungi tempat maupun momen yang nampak
dalam gambar. Gambar-gambar yang dipilih adalah gambar-gambar yang kuat
dalam menunjukkan keindahan tersebut. Adegan-adegan yang tersaji dalam Epic Java
mampu membentuk suatu perasaan tertentu dalam melihat masing-masing
fenomena yang tersaji dalam gambar. Musik latar mengiringi pergerakan
dan pergantian gambar yang disajikan secara low-speed, high-speed, time-lapse dengan pilihan gambar diam, panning, tilting, atau sliding.
Salah satu adegan yang cukup teringat adalah adegan sekawanan burung
yang terbang di sekitar pohon pada karang, disajikan dengan gambar diam
dan musik yang mengalun lembut. Adegan tersebut ditayangkan cukup lama
dibandingkan adegan-adegan lainnya, yang kemudian memberikan waktu untuk
menikmati deburan ombak dan liukan burung-burung di atas karang.
Tetapi, apakah yang dimaksud dengan
titisan Dewa dalam narasi di film ini? Apabila kita nalar, “dewa”
merupakan kata yang seringkali kita pakai untuk membayangkan atau
menggambarkan suatu kuasa atau kekuatan yang melebihi dari kemampuan
manusia dalam menciptakan. Berarti dalam film ini, segala sesuatu yang
diciptakan di luar kuasa manusia adalah titisan dari Dewa, bukan hasil
penciptaan manusia.
Lantas, apakah memang yang ditunjukkan oleh Epic Java
dari awal hingga akhir adalah hal-hal yang dititiskan oleh Dewa? Segala
bentang alam dan biotik yang nampak dalam film ini aku setujui sebagai
sebuah titisan Dewa. Susunan karang di pantai, jatuhan air di air
terjun, aliran air di sungai, jajaran gunung, tebing-tebing, burung yang
terbang, kera yang memanjat, serta segala kenampakan alam dan biotik
yang muncul dalam film adalah bentukan alam, suatu bentukan di luar
kemampuan manusia untuk menciptakannya.
Lalu, bagaimana dengan ritual kebudayaan dan spiritual di Jawa? Di sini pembuat film Epic Java
sedikit meleset, mungkin juga sedikit kebablasan, dalam menerjemahkan
kata “dewa”. Budaya pada dasarnya merupakan hasil cipta karya dari akal
budi manusia yang disepakati oleh sekelompok manusia. Reog Ponorogo yang
muncul dalam Epic Java merupakan sindiran dari sekelompok
masyarakat pada pemerintahan Kerajaan Majapahit, di mana sindiran
tersebut tentu saja hasil pemikiran manusia. Tapa Bisu Mubeng Beteng,
ritual berjalan mengelilingi Kraton sembari membawa pusaka Kraton dengan
sikap diam, juga merupakan bentuk tradisi budaya dan spiritual. Tradisi
tersebut juga hasil dari gagasan manusia untuk melakukan perenungan
diri. Bahkan ritual keagamaan yang ada pun merupakan bentuk kebudayaan.
Ritual biksu berkeliling Candi Borobudur saat Hari Raya Waisyak juga
berasal dari gagasan manusia untuk mencapai pencerahan dan ketenangan
batin.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, bagaimana sebenarnya rentetan cerita dalam Epic Java ini? Apabila kita membayangkan film sebagai kumpulan gambar dan suara yang terpadu dalam suatu logika, Epic Java tidaklah begitu. Gambar dan suara dalam film ini hadir begitu saja tanpa ada benang merah yang kuat.
Film ini tidak bercerita dalam konflik.
Tidak ada satupun konflik yang terbentuk di antara gambar dan suaranya,
entah itu silang-sengkarut makna, bentuk, atau rasa. Tidak ada satu
adegan yang kemudian mempengaruhi adegan-adegan berikutnya. Kalaupun
kita memperhitungkan lagi pesan pelestarian alam di akhir Epic Java, tak
ada adegan dalam film ini yang menunjukkan bahwa terjadi perusakan atau
tindakan lainnya yang pada akhirnya merusak segala titisan dewa di
Jawa. Semuanya indah, semuanya baik-baik saja.
Film ini juga tidak bercerita dalam runtutan waktu. Banyak adegan dalam Epic Java
yang diulang-ulang. Seperti contohnya, adegan pelepasan lampion saat
Tri Hari Suci Waisyak di sekitar Borobudur dan time lapse di Gunung
Bromo. Adegan-adegan tersebut muncul tiga sampai empat kali dengan
iringan musik dan gerakan gambar yang berbeda.
Andai ada suatu hal yang menyambung gambar-gambar dalam Epic Java,
bisa jadi hanya eksotisme. Eksotisme yang menimbulkan decak kagum,
keterpanaan, dan keinginan untuk hadir di tempat yang ditunjukkan. Tidak
lebih, tidak kurang. Yang artinya juga Epic Java tidaklah lebih dari iklan kampanye yang selama tiga puluh menit berteriak lantang, “Visit Java!”
Lokasi-lokasi yang ditunjukkan dalam film hanyalah lokasi-lokasi wisata
yang populer, sebagaimana yang kita bisa intip dari dari daftar lokasi
sepanjang credit title, yang itu juga dominan di seputaran Bandung, Yogyakarta, dan Dieng. Tidak lebih, tidak kurang.
Epic Java | 2013 | Sutradara: Febian Nurrahman Saktinegara | Negara: Indonesia
Tulisan hasil lokakarya Mari Menulis! edisi Malang Film Festival 2014
Pernah dimuat di Cinema Poetica pada 8 April 2014 (http://cinemapoetica.com/epic-java-iklan-kampanye-pariwisata/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana pendapatmu?