10 Februari 2015

EPIC JAVA: IKLAN KAMPANYE PARIWISATA

Di awal Epic Java, tertulis sebuah narasi tentang suatu daerah yang indah, sebuah wilayah yang konon adalah titisan dewa-dewa. Javadvipa namanya, yang tak lain adalah Pulau Jawa. Di penutup film, kembali muncul sebuah narasi yang menekankan narasi di awal film, plus sebuah pesan bahwa manusia saat ini bertanggungjawab untuk melestarikan Pulau Jawa.

Dan pembuat film tak tanggung-tanggung dalam mewujudkan daerah titipan dewa ini secara visual. Selama tiga puluh menit durasi film, Epic Java tak putus-putusnya menampilkan keindahan alam di pulau jawa: pantai, karang, deburan ombak, air terjun, tebing, sungai, kera di pohon, bangau di sungai, burung-burung di karang, dan sejenisnya. Sesekali tidak hanya bentang alam saja yang terjadi dalam Epic Java. Beberapa ritual kebudayaan dan spiritual di Jawa ditunjukkan juga. Reog Ponorogo, adu domba di Garut, Tapa Bisu Mubeng Beteng di Yogyakarta, Waisyak di Borobudur adalah beberapa ritual kebudayaan dan spiritual yang muncul dalam Epic Java.

Adegan-adegan alam, budaya, dan spiritual tersebut dikemas sangat indah. Momen-momen yang ditampilkan menggugah penonton untuk mengunjungi tempat maupun momen yang nampak dalam gambar. Gambar-gambar yang dipilih adalah gambar-gambar yang kuat dalam menunjukkan keindahan tersebut. Adegan-adegan yang tersaji dalam Epic Java mampu membentuk suatu perasaan tertentu dalam melihat masing-masing fenomena yang tersaji dalam gambar. Musik latar mengiringi pergerakan dan pergantian gambar yang disajikan secara low-speed, high-speed, time-lapse dengan pilihan gambar diam, panning, tilting, atau sliding. Salah satu adegan yang cukup teringat adalah adegan sekawanan burung yang terbang di sekitar pohon pada karang, disajikan dengan gambar diam dan musik yang mengalun lembut. Adegan tersebut ditayangkan cukup lama dibandingkan adegan-adegan lainnya, yang kemudian memberikan waktu untuk menikmati deburan ombak dan liukan burung-burung di atas karang.

Tetapi, apakah yang dimaksud dengan titisan Dewa dalam narasi di film ini? Apabila kita nalar, “dewa” merupakan kata yang seringkali kita pakai untuk membayangkan atau menggambarkan suatu kuasa atau kekuatan yang melebihi dari kemampuan manusia dalam menciptakan. Berarti dalam film ini, segala sesuatu yang diciptakan di luar kuasa manusia adalah titisan dari Dewa, bukan hasil penciptaan manusia.

Lantas, apakah memang yang ditunjukkan oleh Epic Java dari awal hingga akhir adalah hal-hal yang dititiskan oleh Dewa? Segala bentang alam dan biotik yang nampak dalam film ini aku setujui sebagai sebuah titisan Dewa. Susunan karang di pantai, jatuhan air di air terjun, aliran air di sungai, jajaran gunung, tebing-tebing, burung yang terbang, kera yang memanjat, serta segala kenampakan alam dan biotik yang muncul dalam film adalah bentukan alam, suatu bentukan di luar kemampuan manusia untuk menciptakannya.

Lalu, bagaimana dengan ritual kebudayaan dan spiritual di Jawa? Di sini pembuat film Epic Java sedikit meleset, mungkin juga sedikit kebablasan, dalam menerjemahkan kata “dewa”. Budaya pada dasarnya merupakan hasil cipta karya dari akal budi manusia yang disepakati oleh sekelompok manusia. Reog Ponorogo yang muncul dalam Epic Java merupakan sindiran dari sekelompok masyarakat pada pemerintahan Kerajaan Majapahit, di mana sindiran tersebut tentu saja hasil pemikiran manusia. Tapa Bisu Mubeng Beteng, ritual berjalan mengelilingi Kraton sembari membawa pusaka Kraton dengan sikap diam, juga merupakan bentuk tradisi budaya dan spiritual. Tradisi tersebut juga hasil dari gagasan manusia untuk melakukan perenungan diri. Bahkan ritual keagamaan yang ada pun merupakan bentuk kebudayaan. Ritual biksu berkeliling Candi Borobudur saat Hari Raya Waisyak juga berasal dari gagasan manusia untuk mencapai pencerahan dan ketenangan batin.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, bagaimana sebenarnya rentetan cerita dalam Epic Java ini? Apabila kita membayangkan film sebagai kumpulan gambar dan suara yang terpadu dalam suatu logika, Epic Java tidaklah begitu. Gambar dan suara dalam film ini hadir begitu saja tanpa ada benang merah yang kuat.
Film ini tidak bercerita dalam konflik. Tidak ada satupun konflik yang terbentuk di antara gambar dan suaranya, entah itu silang-sengkarut makna, bentuk, atau rasa. Tidak ada satu adegan yang kemudian mempengaruhi adegan-adegan berikutnya. Kalaupun kita memperhitungkan lagi pesan pelestarian alam di akhir Epic Java, tak ada adegan dalam film ini yang menunjukkan bahwa terjadi perusakan atau tindakan lainnya yang pada akhirnya merusak segala titisan dewa di Jawa. Semuanya indah, semuanya baik-baik saja.
Film ini juga tidak bercerita dalam runtutan waktu. Banyak adegan dalam Epic Java yang diulang-ulang. Seperti contohnya, adegan pelepasan lampion saat Tri Hari Suci Waisyak di sekitar Borobudur dan time lapse di Gunung Bromo. Adegan-adegan tersebut muncul tiga sampai empat kali dengan iringan musik dan gerakan gambar yang berbeda.

Andai ada suatu hal yang menyambung gambar-gambar dalam Epic Java, bisa jadi hanya eksotisme. Eksotisme yang menimbulkan decak kagum, keterpanaan, dan keinginan untuk hadir di tempat yang ditunjukkan. Tidak lebih, tidak kurang. Yang artinya juga Epic Java tidaklah lebih dari iklan kampanye yang selama tiga puluh menit berteriak lantang, “Visit Java!” Lokasi-lokasi yang ditunjukkan dalam film hanyalah lokasi-lokasi wisata yang populer, sebagaimana yang kita bisa intip dari dari daftar lokasi sepanjang credit title, yang itu juga dominan di seputaran Bandung, Yogyakarta, dan Dieng. Tidak lebih, tidak kurang.

Epic Java | 2013 | Sutradara: Febian Nurrahman Saktinegara | Negara: Indonesia


Tulisan hasil lokakarya Mari Menulis! edisi Malang Film Festival 2014 
Pernah dimuat di Cinema Poetica pada 8 April 2014 (http://cinemapoetica.com/epic-java-iklan-kampanye-pariwisata/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapatmu?